Telah
 kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual 
seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk
 memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak 
keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa
 ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk 
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat
 kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai 
ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah "Tahlilan".
Acara
 ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan 
(terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus 
berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan 
kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut 
diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang 
berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara 
diselenggarakan.
 Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang
 berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan "lebih 
dari sekedarnya" cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. 
Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah
 kenyataannya.
Entah
 telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa 
disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak 
menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan 
akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara 
tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: "wajib")
 untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidah (hal yang baru dan ajaib) 
apabila ditinggalkan.
Para
 pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang 
mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar
 berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki 
pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Quran dan As 
Sunnah.
Sebenarnya
 acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di 
kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan 
kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan 
Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh 
setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu 
wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah berfirman 
(artinya):
"Maka
 jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia 
kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian 
benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih 
utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya." (An Nisaa: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para
 pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual 
tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam, 
di masa para sahabatnya dan para Tabiin maupun Tabiut tabiin. Bahkan 
acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah 
seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya
 yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana 
sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal
 mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) 
nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan 
Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang 
yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti 
halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan 
berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti 
dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari Al Quran, 
maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka.
Dari
 aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan
 merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan 
agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan
 beberapa ayat/ surat Al Quran, dzikir-dzikir dan disertai dengan 
doa-doa tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua
 hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun 
secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada
 dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki 
argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap
 baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka 
berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk 
membaca Al Quran, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk 
memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang
 benar Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca 
Al Quran, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al 
Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa diatur sesuai kehendak pribadi dengan 
menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan 
acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu alaihi 
wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan.
Kesempurnaan
 agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang 
telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Allah 
subhanahu wataala berfirman (artinya):
"Pada
 hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku 
sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama 
kalian." (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
"Tidak
 ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan 
menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian 
semuanya." (H.R Ath Thabrani)
Ayat
 dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa 
Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada
 suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah 
dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Suatu
 ketika Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam mendengar berita tentang 
pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: "Saya akan shalat 
tahajjud dan tidak akan tidur malam", yang kedua menyatakan: "Saya akan 
bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka", yang terakhir menyatakan: 
"Saya tidak akan menikah", maka Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam 
menegur mereka, seraya berkata: "Apa urusan mereka dengan menyatakan 
seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan
 saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci 
sunnahku maka bukanlah golonganku." (Muttafaqun alaihi)
Para
 pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah 
subhanahu wataala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada 
Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam. 
Allah subhanahu wataala menyatakan dalam Al Quran (artinya):
"Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya." (Al Mulk: 2)
Para
 ulama ahli tafsir menjelaskan makna "yang paling baik amalnya" ialah 
yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah 
shalAllahu alaihi wasallam.
Tidak
 ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu
 jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai 
tuntunan sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Atas
 dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti 
peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah 
Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. 
Simaklah firman Allah subhanahu wataala (artinya): "Maukah Kami 
beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi 
perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam 
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah 
berbuat sebaik-baiknya". (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits Aisyah radhiAllahu anha, Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak." (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
"Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya."
Maka
 beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama.
 Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah 
subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu 
perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wataala dan 
Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al 
Imam Asy SyafiI:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barang
 siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah 
dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan 
hukum syara (syariat) sendiri".
Kalau
 kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafii tentang hukum 
bacaan Al Quran yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama 
yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Quran tidak akan sampai kepada si
 mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wataala (artinya):
"Dan
 bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang 
telah diusahakannya". (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang
 secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan 
perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun
 manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit 
baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka 
memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan 
oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah 
melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu anhum. Jarir bin Abdillah 
radhiAllahu anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu alaihi 
wasallam– berkata: "Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di 
rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit 
merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)." (H.R Ahmad, Ibnu Majah 
dan lainnya)
Sehingga
 acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari 
keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut 
pendapat para sahabat Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para 
ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al
 Imam Asy Syafii dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al 
Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku 
bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam salah 
satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um (1/248): "Aku membenci acara 
berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak 
disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan 
memberatkan urusan mereka." (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al 
Albani hal. 211)
Al
 Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafii setelah 
menyebutkan perkataan Asy Syafii diatas didalam kitabnya Majmu Syarh Al 
Muhadzdzab 5/279 berkata: "Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, 
dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab 
Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen 
lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan 
dalam agama (bidah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafii?
Malah
 yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang 
menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban 
yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalAllahu alaihi 
wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
"Hidangkanlah
 makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara 
(kematian-pent) yang menyibukkan mereka." (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi 
dan lainnya)
Mudah-mudahan
 pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan 
kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu alam. (Dikutip dari: 
assalafy):
www.suaramedia.com 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengadakan
 pertemuan atau perkumpulan untuk membaca Al-Qur’an, shalawat, istigfar,
 tahlil dan dzikir lainnya, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang
 telah meninggal dunia, hukumnya adalah boleh (jaiz).
Sebagaimana disampaikan oleh Al-Imam Muhammad bin Ali Muhammad Al-Syaukani :Kebiasaan
 di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, 
rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan
 kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya 
boleh (jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan 
kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari 
syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah 
sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi 
dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an
 atau lainnya. Dan tidaklan tercela menghadiahkan pahala membaca 
Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan 
ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadist shahih seperti ; 
Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu. Tidak ada bedanya 
apakah pembacan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat 
mayit atau di atas kuburnya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan 
atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah. (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
Selanjutnya Al-Syaukani menyampaikan :
Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di 
dalam masjid, melagukan syair-syair, mendiskusikan hadist dan kemudian 
mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi saw. 
Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang di dalamnya 
tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah bid’ah, maka ia salah, 
karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah
 agama, sedangkan perkumpulan ini (semacam tahlil), tidak termasuk 
bid’ah (membuat ibadah baru). (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
Imam Al-Syafi’i ra, berkata :
Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan 
hamba-hambanya untuk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan 
kepada Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo’a 
untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a
 untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barokah do’a tersebut 
Insya Allah akan sampai. Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala
 bagi orang yang hidup, Allah juga Maha Kuasa untuk memberikan 
manfaatnya kepada mayit.(Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i, juz I, hal. 430)
Syah Waliyullah Al-Dahlawi mengatakan :
Termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati) adalah membaca 
surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan paling 
luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dalam kitab
 suci Al-Qur’an. Diantara do’a Nabi saw. yang terkenal bagi mayat adalah
 (do’a yang artinya) “Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan 
orang yang sudah mati di antara kami,… (Hujjatullah Al-Balighah, juz II, hal. 93)
Ketika
 membaca surat Al-Fatihah dianjurkan didahului dengan pengkhususan, 
sebagaimana fatwa Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Husain Balfaqih : 
bahwa yang lebih utama bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah bagi 
seseorang adalah dengan mengucapkan ila ruhi fulan bin fulan (kepada ruh
 fulan bin fulan) sebagaimana tradisi yang berlaku. (Hal itu lebih utama
 diucapkan) karena ruh itu tetap ada sementara tubuh itu hancur. (Bughyatul Mustarsyidin hal. 98).
Tujuh hari dalam tahlilan.
Asal-usul istilah tujuh hari dalam tahlilan mengikuti amal yang dicontohkan sahabat Nabi saw.
Imam Ahmad bin Hanbal ra. dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi :
Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i 
meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata ; 
Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur 
mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah 
makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu. (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178).
Kebiasaan
 memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang 
tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX 
Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah 
ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi saw. sampai sekarang ini, dan 
tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa 
sahabat Nabi saw.). (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 194).
Dzikir Fida’ atau Syarwa
Dzikir Fida’ (tebusan) didasarkan dari tuntunan sebuah hadist : 
Rasulullah saw. bersabda ; Barangsiapa mengucapkan lailaha illallah 
sejumlah 71 ribu, berarti orang tersebut telah menebus dirinya dari 
Allah Azza wa Jalla. Demikian pula jika hal itu dilakukan untuk orang 
lain. Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Aisyah ra.). 
(Khazinatul Asrar, hal 188).
Alhasil membaca dzikir lailaha illallah sejumlah 71 ribu, disebut 
sebagai dzikir fida’ (tebusan). Oleh karena itu janganlah merisaukan 
soal hukumnya dzikir fida’ tersebut.
Syarwa Kubro.
Syarwa kubro dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali 
kemudian dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, didasarkan
 kepada hadist Nabi saw :
Rasulullah saw. bersabda, barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) 
seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. 
Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; 
Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api
 nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka 
menuntutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar 
dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal.
 140)
Sumber
 : Tahlil Dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kajian Kitab 
Kuning), oleh : KH. Muhyiddin Abdusshomad. dan Dokumen Penting Tentang 
Masalah Agama Islam, oleh : KH. Manshur Shaleh.
sumber http://masdodod.wordpress.com
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jakarta, NU Online
Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang 
sudah meninggal yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 
40 hari, 100 hari, 1000 hari sampai dengan haul yang diadakan untuk 
memperingati setiap tanggal kematian merupakan tradisi Hindu atau Budha 
yang kemudian substansinya dirubah oleh para wali songo dengan mengisi 
bacaan dan doa dari tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga 
akhirnya disebut tahlil
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Agus Sunyoto, penulis buku Syeikh Siti
 Jenar tersebut berpendapat bahwa tradisi tahlil sebenarnya merupakan 
tradisi Syiah yang kemudian dibawa oleh para musyafir yang menyebarkan 
Islam di Indonesia.
”Dalam tradisi Hindu, tidak ada peringatan 7 hari sampai dengan 1000 
hari. Yang ada peringatan 12 tahun sekali,” tandasnya saat berdiskusi di
 kantor NU Online Selasa malam dengan sejumlah budayawan dan aktivis 
Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama (Lesbumi).
Pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya ketika diajak salah satu 
temannya yang beraliran Syiah untuk tahlil diajak tahlil. ”Lho ini 
tradisinya kok sama dengan NU,” fikirnya dalam hati. Selanjutnya ia 
melakukan penelitian tentang asal usul tradisi ini.
Para musyafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama 
Islam dan memiliki tradisi tasawuf beraliran Syiah lah yang 
mengembangkan tradisi ini. Makanya tak heran ketika Imam Khumeini 
meninggal, juga diadakan tahlil untuk mendoakannya.
Tradisi lain yang berasal dari Syiah adalah adanya bulan baik atau buruk
 untuk mengadakan suatu acara. ”Orang Jawa dha berani mengadakan hajatan
 pada bulan Muharram atau lebih dikenal dengan bulan Suro karena bisa 
membawa sial. Ini merupakan tradisi Syiah karena pada bulan tersebut 
Sayyidina Husein, anak Ali bin Abi Tholib meninggal dibunuh,” tuturnya.
Tentang mengapa wali yang disebut berjumlah sembilan atau lebih dikenal 
sebagai wali songo, padahal wali sebenarnya lebih dari itu, Agus 
berpendapat ini berkaitan dengan adopsi kepercayaan Hindu yang 
berkeyakinan adanya delapan arah mata angin dan satu dipusatnya sehingga
 jumlahnya menjadi sembilan.(mkf)
Source: http://www.nu.or.id/ 
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penebus untuk Siksa Kubur
Assalamualaikum, pa Ustadz.
Semoga pa ustadz beserta kru eramuslim diberikan umur panjang, kesehatan
 badan, keluasan ilmu dan keberkahan rizki demi memberi tuntunan dan 
pencerahan kepada umat.Amin.
Pak ustadz, langsung saja pada saat orang tua kami meninggal kami biasa 
mengadakan tahlilan dan tausiah oleh seorang ustadz di tempat kami. dan 
katanya bila kita menghatamkan tahlilan (sebanyak 70.000 kali lafaz 
lailahailalloh ) dapat membebaskan ahli kubur dari siksa kubur kalau 
kita hadiahkan pada ahli kubur.
Dan kata beliau, riwayat ini ada dalam kitab kuning, karena beliau juga adalah lulusan pesantren.
Dan apa benar ada khatam untuk surah Al-Ikhlas? Dan kalau kita khatam 
bisa bebas dari api neraka? Dan dari mana asal solawat kamilah? Dan kalu
 kita amalkan berapa banyak akan mendapatkan keistimewaan? Apa benar ada
 riwayat yang sohih tentang ini?
Mohon jawabanya pak ustadz karena di tempat kami banyak yang 
mengamalkanya. Dan saya mengerti kalau pertanyaan saya belum dijawab 
karena memang banyaknya pertanyaanyangmasuk. Smoga ke depan semua 
pertanyaan dapat dijawab. AMIN
jawaban
Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Sebenarnya masalah apakah bacaan Quran bisa ditransfer pahalanya kepada 
orang sudah meninggal dunia, sudah sering kami jawab di rubrik ini. 
Intinya memang ada sedikit beda pendapat di kalangan ulama.
Ibnu Taymiyah misalnya, beliau dengan tegas mengatakan bahwa orang yang 
meninggal akan mendapatkan manfaat bila orang yang masih hidup 
membacakan Al-Quran, asal memang diniatkan.
Untuk lebih tegasnya, silahkan buka link-link berikut ini:
bertanya-mengenai-transfer-pahala
Orang-sudah-meninggal-menunggu-hadiah-orang-masih-hidup
Membacakan-al-quran-30-juz-almarhum-selama-7-hari.htm
Cara-mendoakan-orang-sudah-meninggal
Namun kalau niatnya untuk mengirimkan pahala, akan menjadi jauh lebih 
baik kalau pahalanya bukan semata dari bacaan Quran saja. Sebab pahala 
bacaan Quran itu baru akan bagus kalau yang membacanya memang seorang 
yang baik bacaannya, bukan sembarang orang.
Kalau bacaannya kurang fasih atau malah salah baca, bagaimana pahalanya bisa jadi besar?
Kalau mau pahala yang besar dan cukup untuk dikirimkan kepada almarhum 
di alam kuburnya, seharusnya nilai amalnya juga besar. Tidak berhanti 
sekedar pahala baca Quran atau dzikir saja.
Lalu apa amal yang besar?
Amal yang besar adalah amal yang pahalanya terus menerus mengalir. 
Ibarat pohon yang subur, tiap tahun selalu memberi hasil panenan yang 
baik.
Sebagai perbandingan, kalau kita memberi makan satu orang miskin untuk 
sekali makan, maka pahalanya hanya pahala satu kali makan itu saja. Tapi
 kalau kita beri makan tiap hari, bahkan hingga kita meninggal, orang 
miskin itu tetap menerima makan dari tangan kita, silahkan hitung 
sendiri berapa besar pahalanya.
Kalau kita punya deposito uang di bank syariah, kenapa tidak kita 
niatkan agar bagi hasilnya disedekahkan kepada orang miskin, berapa pun 
besarnya. Maka selama uang itu masih ada di deposito, selama itu pula 
pahala akan tetap terus mengalir.
Sekarang kita tambah lagi niainya. Seandainya orang miskin yang kita 
beri makan itu anak yatim, maka pahalanya pasti akan berlipat lagi. 
Sebab selain miskin, dia juga yatim.
Lalu kita tambah lagi nilainya. Selain kita beri makan, anak itu juga 
kita sekolahkan atau kita masukkan pesantren yang bermutu. Sehingga 
menjadi nantinya menjadi ulama besar yang berguna buat bangsa dan 
umatnya.
Kita bisa hitung-hitungan dengan Allah SWT, bahwa ulama itu tidak lahir 
kecuali dari hasil jasa kita yang memberinya makan dan kita pula yang 
membiayai pelajarannya. Maka semua ilmu dan amal ulama yang berpahala 
itu, akan kita nikmati juga pahalanya, karena kita punya andil besar 
dalam melahirkan seorang ulama.
Dan begitulah, ada teknik-teknik khusus untuk melipat-gandakan pahala secara benar, jujur, dan berdasarkan dalil syar''i.
Pemikiran ini tentu bukan dengan niat menggusur tahlilan yang terlanjur 
sudah menjadi budaya bangsa. Akan tetapi sekedar memberikan alternatif 
lain yang barangkali perlu kita beri ruang prioritas.
Dan tidak ada salahnya kalau pemikiran itu diperluas di bidang-bidang 
lainnya, seperti membangun kampus, sekolah, pesantren, perpustakaan dan 
juga situs keIslaman.
Khusus masalah situs keIslaman, ada teman yang bercerita betapa 
efektifnya nilai sebuah situs untuk dakwah. Katakanlah sebagai 
ilustrasi, sejak diledakkannya menara kembar WTC pada 11 September 2001 
di Newyork, tercatat tidak kurang dari 25.000 orang di Australia masuk 
Islam.
Lho kok bisa?
Ya, bisa. Sebab orang Australia itu kan bukan bangsa bego yang mudah 
dicekoki oleh Bush dengan bualannya. Mereka lantas melakukan searching 
untuk mencari informasi yang terkait dengan Islam. Dan semakin banyak 
yang justru bisa mengambil manfaat dari situs-situs keIslaman. Dan 
semakin banyak saja bule-bule itu yang masuk Islam.
Jadi apa pun yang dilakukan oleh Bush dan komplotannya untuk menjelekkan
 Islam, yang terjadi justru sebaliknya. Malah menjadi iklan gratis buat 
mengenalkan Islam.
Beruntung kita hidup di zaman internet, sehingga siapa saja bisa 
berdakwah lewat situs internet, kapan pun dan dari mana pun. Tinggal 
bangun sebuah situs Islam, lalu tuliskan apa yang ingin disampaikan. 
Kalau isinya memang bermutu, pasti orang akan baca. Bahkan dengan adanya
 ''mBah Google'', tulisan dengan kata kunci apa pun bisa dicari dalam 
hitungan detik.
Ketakutan orang Belanda atas menyebarnya Islam di negeri mereka sangat 
terasa. Ketika menyaksikan apa yang dibuat oleh Wilder dalam film 
Fitna-nya, terasa sekali kalau Islam itu memang telah menjadi sebuah 
kekuatan raksasa yang siap menaklukkan Eropa.
Bayangkan, sekarang ini sudah ada 54 juta muslim di Eropa. 
Pertanyaannya, siapa yang menyebarkan Islam di sana? Adakah 
negara-negara muslim dari Timur Tengah telah mengutus para da''i ke 
sana? Rasanya sih tidak, kecuali dalam jumlah yang jauh lebih sedikit.
Lalu dari mana orang-orang Eropa itu kenal Islam?
Salah satu asumsinya adalah lewat internet. Dengan internet, kita bisa 
menembus Eropa tanpa harus pakai visa, passport atau izin ini dan itu. 
Keberhasilan dakwah Islam di Eropatelah membuktikan bahwa internet 
memegang peranan penting dalam dunia dakwah.
Sayangnya banyak para da''i yang masih ogah-ogahan mengurus websitenya. 
Begitu juga dengan ormas, masih banyak yang situsnya sudah tidak 
diupdate sejak dua tahun yang lalu. Dan sebagian besarnya malah sudah 
berpulang ke rahmatullah, alias sudah mati.
Maka kalau sekarang anda ingin beramal yang murah tapi bernilai pahala 
sangat tinggi, beramallah dengan membuat situs. Atau kalau tidak bisa 
bikin sendiri, minimalbantulah situs Islam yang sering kembang kempis 
hidupnya. Banyak dari situs buatan umat Islam yang sehari nongol 
seminggu libur.
Padahal kalau digarap dengan baik, setidaknya dibiayai secara kontiniu, Islam akan mendapatkan cahaya yang semakin terang saja.
Kalau kita boleh berandai-andai, kadang kebiasaan mengadakan tahlilan 
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan ada yang sampai puluhan 
juta. Seandainya biaya itu dialokasikan untuk membangun situs, maka tiap
 ada satu orang meninggal, akan terbangun satu situs baru yang berisi 
dakwah.
Kalau dalam sebulan orang kaya yang meninggal di negeri ini kita anggap 
ada 100 orang saja, maka setidaknya akan ada 100 situs baru. Tentunya 
harus digarap secara profesional, bukan asal bikin lalu bubar jalan 
grak.
Kenapa kami meributkan umat Islam tidak bikin situs? Jawabnya karena 
musuh-musuh Islam sangat produktif untuk bikin situs. Coba tengok angka 
pertumbuhan situs porno di negeri kita, pasti kita akan tercengang. 
Dibandingkan dengan pertumbuhan situs Islam, boleh dibilang tidak ada 
apa-apanya.
Sementara jumlah tahlilaln tidak pernah menurun, karena tiap hari ada 
yang meninggal, dan tahlilan pun jalan terus. Sementara situs Islam pada
 berguguran di tengah jalan.
Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
sumber http://www.ustsarwat.com
-------------------------------------------------------------------------------------------
sumber http://blog.its.ac.id/syafii/2008/08/21/tahlilan/
Pada
 hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan 
untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat 
bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat 
kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti 
tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain. 
Maka
 sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya 
istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil 
artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya 
mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan 
dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala 
kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat 
atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan
 Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha 
puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang
 Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita 
bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul 
saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang 
sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW 
pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan
 untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan
 keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits 
no.1967).
Dan
 hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) 
merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang 
memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya 
terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan 
lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau 
dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka 
sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi
 tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal 
untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn 
Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang 
Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).
Mengenai
 ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka 
Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat “DAN 
ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai
 hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka 
terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang 
bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang
 mengirim amal, dzikir dll 
Untuknya
 ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah 
SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang 
dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah 
memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat :
 “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA 
KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai
 rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang 
memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan 
berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
Didalam
 acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, 
ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan 
agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja 
dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila
 ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, 
klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah
 muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, 
Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan 
Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan 
kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan
 satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya 
muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di 
Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, 
hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai
 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, 
tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah 
diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran 
muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, 
siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan 
dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha 
illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak 
ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan 
untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau 
kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata. 
Bila
 hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan 
computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang 
kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat 
gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka 
boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi 
yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang 
yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya 
Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas 
Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR 
Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana
 pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu 
membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah 
fatihah maka  ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau 
meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama
 dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang 
mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa 
kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al 
Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan 
membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka
 tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia 
membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul
 saw tak melarangnya bahkan memujinya.
Kita
 bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al 
hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu)
 hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim 
hadiah pada Rasul saw :
Berkata
 Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 
kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari
 itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
Berkata
 Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy 
Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang 
pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor 
untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an 
untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah 
saw”.
Ia
 adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu 
masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat 
pada 313H
Berkata
 Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan 
aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 
700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq
 
 
 
 
Dicopy dari http://www.darussalaf.org
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab
Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 MahzabTentang Bid’ahnya Tahlilan